Jumat, 02 April 2010

Cerita cinta tentang pengalaman pertama kali tiba di kota Jubail

 
Tak lama setelah pesawat mendarat di Bandara Internasional King Fahd, Dammam, sekitar pukul satu dinihari waktu setempat aku meninggalkan bandara itu menuju Jubail. Perasaan kesal akibat terlalu lama menunggu bus jemputan sedikit terobati ketika mobil yang membawa rombongan meluncur menuju Al- Bahar Camp. Suatu camp di tepi pantai yang sangat sunyi senyap kondisinya, benar-benar tempat yang indah untuk beristirahat. Dengan mobil jemputan berpenghangat udara kami melesat menikmati gratisnya jalan bebas hambatan yang diapit gurun yang seakan tanpa batas.

Pertama kali memasuki kota Jubail mulai tampak di sana-sini bangunan bertingkat kotak-kotak, yang ternyata kemudian tak kutemui lagi model lain selain gedung segi empat berdinding kukuh seperti itu. Rumah-rumah tinggal pun seolah enggan bergaya: tak bergenting, beratap beton, dan bertembok sewarna pasir gurun, dengan ventilasi minim. Barulah kumengerti fungsinya ketika acap kali angin menderu dahsyat, bersiul melengking mengguncang jendela, dan badai pasir tak terelakkan. Sang badai siap menabur kabut debu yang tebal hingga seisi kota bersepuh cokelat dan baunya tercium pengap sampai ke lorong-lorong apartemen.



Hari pertama di Jubail, aku pun segera menikmati kota yang cantik itu. Saat matahari pagi menghunus sinarnya yang berkilauan, dari balik jendela apartemen tampak Teluk Persia yang hijau dari kejauhan, tapi sesungguhnya biru jernih setelah kusambangi. Warna-warni bunga semusim dan pepohonan hijau dengan pangkasan yang terawat menghiasi sepanjang median jalan. Di jalur lain pohon kurma berbanjar di atas petak berpasir.

Bagaimana suasana malam di kota industri itu?

Penasaran untuk menjamah lekuk-lekuk Jubail, aku susuri kota yang merekah pada malam hari itu. Dari apartemen, aku berjalan kaki seratus meter menuju Jubail International Market. Pintu geser terbuka menyambutku malam itu. Dua-tiga wanita berseliweran dengan Hijab panjang, jilbab, dan cadar serba hitam beserta keluarga mereka

Aku melewati pertokoan, lalu kutelusuri jalur pedestrian. Amat langka wanita. Mungkin geraknya memang sangat dibatasi di sini. Tapi segera kusadari kaum perempuan justru dimuliakan di negeri itu. Aku dengan jelas melihat keindahan itu dari kota yang bernama Jubail, tempat pengguna jalan bisa menghentikan sesaat laju kendaraannya untuk memberi jalan bagi wanita. Pelayanan di bank-bank di Saudi pun membebaskan perempuan dari antrean.

Tak terasa telah kurambah ladies market. Barulah kutemui kaum Hawa sibuk memenuhi kantong belanja mereka di sana. Hampir semua bercadar, termasuk pengemis yang mendeprok di mulut pertokoan. Beberapa perempuan nonmuslim hanya mengenakan jubah hitam tanpa jilbab. Bisa ditebak, mereka warga Filipina atau orang India yang berkerudung longgar dengan rambut dibiarkan menyembul.

Ada tiga supermarket favorit warga Indonesia di Jubail: Cash & Carry, Kadiwa, dan Same Way. Ketiganya menyediakan makanan Indonesia, seperti kerupuk, tahu, taoge, dan ikan asin. Yang paling lengkap Cash & Carry, karena hanya di sanalah bisa didapati bumbu khas Nusantara, semisal terasi, lengkuas, serai, dan bumbu pecel instan. Tapi pasokan pun tak selalu lancar sehingga semua harus bersabar menunggu makanan atau bumbu idaman.

Tempat belanja lainnya yang digandrungi adalah fish market. Berbagai jenis ikan, udang, cumi-cumi, juga daging segar bisa diperoleh di pasar yang luas, bersih, dan agak terpisah dari keramaian kota ini. Pedagang kaki lima yang menawarkan buah-buahan dan sayuran ikut menyemarakkan suasana.

Pusat belanja yang lain terdapat di kawasan Pantai Fanateer, seperti Panda dan toko buku Jarir. Lantaran kota ini minim sarana hiburan, pantai yang bisa ditempuh sekitar 20 menit dari pusat kota itu menjadi obyek wisata yang kerap dikunjungi keluarga penghuni Jubail.

Mau nonton bioskop, jangan berharap Anda menemukannya di kota ini. Bahkan restoran atau kantin hanya diperuntukkan bagi pria, meski ada satu-dua yang menyediakan family section.

Yang kangen makan bakso atau sate kambing lantaran bosan melahap kabsa--ayam panggang plus nasi berminyak atau roti kobus khas Timur Tengah, yang biasanya disantap bersama di atas gelaran plastik khusus sambil lesehan--bisa melampiaskannya di Al-Khobar. Di kota yang lebih meriah ketimbang Jubail itu ada toko bahan kebutuhan pokok dan restoran Indonesia yang juga menyediakan tempe. Di Jubail pun ada saja ibu-ibu yang kreatif menerima pesanan makanan matang, seperti mi ayam atau siomay..Cukup bisa menghapus kerinduan tentang negaraku tercinta.

Mei 2009, bulan keempat aku bertualang di kota industri berpenduduk 250 ribuan jiwa itu, aku kian mengenal karakter unik Jubail. Hari kerja berlangsung dari Sabtu hingga Kamis, dan Jumat merupakan hari libur. Denyut kawasan industri--antara lain kompleks industri gas dan petrokimia, pabrik peleburan baja, serta kilang minyak--dimulai sejak pagi buta. Mobil dan bus-bus jemputan karyawan serupa bus sekolah mulai beroperasi bakda subuh. Proyek-proyek pembangunan berdentam sejak pukul enam.

Pada hari kerja, pagi hingga siang pusat-pusat belanja, seperti Jubail International Market atau Jubail Center, cenderung sepi. Sebagian besar gerai tutup. Nyaris tak ada kehidupan perniagaan pada siang hari. Sementara itu, tatkala para pekerja lelaki sibuk di kantor atau pabrik masing-masing, para wanita lazimnya mengurung diri di rumah.

Di antara waktu asar dan magrib, aktivitas di pertokoan mulai tampak. Saat jeda untuk salat tiba, beberapa pengunjung pasar swalayan, misalnya yang nonmuslim, memilih terkurung di supermarket yang mendadak tutup, sedangkan toko-toko kecil mengusir semua pengunjung mereka. Adapun para pria berduyun-duyun menuju masjid terdekat. Selepas isya, barulah Jubail menggeliat leluasa hingga pukul setengah dua belas malam.

Pemandangan berbeda terjadi pada Jumat. Sejak sore para pekerja, yang sebagian besar tinggal di camp atau mes perusahaan riuh, memadati pusat kota. Saat itu Jubail tak ubahnya dunia kecil milik lelaki. Hiruk-pikuk mencapai puncaknya. Teriakan para sopir taksi berjubah putih dengan serban kotak-kotak merah-putih bersahut-sahutan memburu pejalan kaki. Keakraban terjalin lewat sapaan yang berbeda. Sopir taksi biasa menyapa pria India dengan bhai. Kepada lelaki Filipina, yang terhitung paling banyak di Jubail, diberikan panggilan pare. Kepada orang Indonesia biasanya dilontarkan sapaan, “Apa kabar, My Friend? Indonesia bagus.”

Tak ada angkutan umum di Jubail, selain taksi dan bus-bus besar dengan rute luar kota. Maka agak repot bagi mereka yang tinggal cukup jauh dari pusat kota karena cuma ada pilihan: jalan kaki, menunggu taksi lewat, atau mengendarai mobil sendiri. Untuk itu, beberapa warga pendatang menyiasatinya dengan berlangganan taksi atau berusaha memiliki surat izin mengemudi setempat agar bisa nyetir sendiri mobil sewaan atau mobil kantor





3 komentar:

Silahkan tinggalkan komentar anda di sini